Aneh rasanya ketika menulis tentang kesedihan orang
lain disini. Sebenarnya ini bukan berfokus pada kesedihan orang tersebut, namun
caranya menghadapi kesedihan itu. Setiap manusia ternyata memiliki cara
masing-masing untuk mengatasi kesedihannya dan punya cara tersendiri untuk
membentengi dirinya dari kesedihan berikutnya.
Bulan Februari
seharusnya menjadi bulan yang paling saya tunggu dengan sahabat saya karena rencananya kami akan wisuda bersama.
Memakai baju hitam ‘kebesaran’ dan toga.
Pupus. Wisuda bersama di bulan Februari itu pupus ketika dia tidak lulus dalam
ujian komprehensif. Sangat kecewa pastinya karena kami telah merencanakan hari
bahagia itu. Tapi bukan itu poinnya. Bukan kekecewaan gagal wisuda bersama, tapi
tentang kegagalan sahabat saya itu.
Dua hari sebelum
dia ujian komprehensif saya sempat mengunjunginya di kos untuk mengambil
sesuatu yang tertinggal di kosnya ketika saya menginap disana. Wajahnya yang
biasa mulus mendadak berjerawat,padahal saya hanya tidak bertemu dengannya 4
hari saja . Malam itu dia mengatakan kalau dia tidak lulus, dia menyuruh saya
menemaninya dan mengajaknya main seharian dan sayapun menyanggupinya. Ketika
hari H pun tiba, saya menyemangatinya dan saya menunggu kabar baik darinya.
Hari sudah beranjak sore namun saya belum mendapat kabar apapun darinya.
Akhirnya saya beranikan mengirim pesan singkat menanyakan hasil ujiannya dan
tidak mendapat jawaban apapun. Sore pun mulai berangsur berlalu, saya akhirnya
memutuskan untuk menelfonnya dan saya mendapat kabar buruk, dia tidak lulus.
Senja itu,
orangtuanya datang ke tempatnya dan menjemputnya untuk pulang ke kampung
halaman kami. Saya ditawari untuk ikut pulang dan saya pun ikut dengan mereka.
Disepanjang perjalanan saya, papa dan mamanya hanya mendengar dia mengeluarkan isi hatinya tentang ujian
tersebut. Kami tidak berani membahas kerena takut dia makin kecewa. Ada yang
unik dari sikap sahabat saya ini, dan justru membuat saya bertanya-tanya dalam
hati. Dia tidak mau menerima kalimat empati dari siapapun. Sikap dia yang tidak
biasa ini membuat saya takjub denganya. Mungkin dia hanya tidak ingin
diingatkan lagi dengan kegagalannya itu jika menerima banyak kalimat empati
dari orang lain.
Sikap dia dan
saya sangat bertentangan karena jika saya di posisi dia, saya akan menghargai dan menerima kalimat empati dari
siapapun walau dengan kalimat tersebut tidak akan mengubah apa yang telah
terjadi tapi hal itu bukti masih ada yang peduli dengan kita, terlepas itu
tulus ataupun tidak. Masalah ketulusan orang lain tentang memberikan kita
semangat atau tidak, itu tidaklah penting karena jika mereka hanya
berpura-pura,ya siap- siap saja mereka mendapatkan hal yang sama dari orang
lain. Yang perlu kita lakukan hanyalah berpikiran positif terhadap orang lain
dan menghargai bentuk kepedulian mereka.
Sekarang yang
bisa saya lakukan sebagai sahabatnya hanyalah berusaha mengiburnya dengan
mengajak bermain seperti biasanya tanpa sedikitpun membahas lagi tentang
kegagalan tersebut. Saya yakin suatu hari nanti sahabat saya akan memberikan
saya kabar bahagia yaitu keberhasilan ujian komprehensif selanjutnya.
Dear Ruby, semoga
tahun ini rencana perjalanan liburan kita ke Jakarta hingga Jogja dapat terealisasi
J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar