Rabb.....
Hati tidak bisa berbohong bahwa tiada
hari tanpa mengaguminya. Setiap melewati rumahnya, selalu berharap sosok itu
akan menampakkan diri dan memberi senyum yang teduh. Selalu berharap wajah yang
memancarkan kebaikan dan ketulusan itu terlihat. Setiap kali melihatnya, hati
selalu bergetar dan wajah tersipu malu. Dia, masih selalu menjadi sosok yang
selalu saya kagumi.
Saya
tidak tahu sejak mulai kapan mengaguminya. Saya ingat, ketika saya masih di
bangku SMA, saya merasa bahagia jika ada dia main bola kaki di tanah kosong sebelah
rumah saya. Terkadang saya sengaja mengintip dari balik jendela rumah untuk
melihat sosok itu bermain bola. Tapi dia hanya sesekali bermain bola di akhir
pekan karena dia harus kuliah di kota. Setiap minggu melihatnya bermain bola di
samping rumah itu sudah cukup.
Wajah tampan bukanlah ukuran saya
mengaguminya. Jika saya lebih mementingkan ketampanan, banyak pria yang lebih
tampan yang bermain bola kala itu. Saya mengaguminya karena dia sosok yang
religius taat beragaama. Saya ingat ketika saya masih SMP, beberapa hari
setelah lebaran, saya dan ibu beserta teman ibu saya mengunjungi rumahnya
karena ayahandanya tercinta meninggal dunia secara mendadak. Banyak yang bilang
terkena serangan jantung. Yang membuat saya terkagum saat itu, dia menjadi imam
shalat jenazah untuk ayahnya.
Sebagai anak tunggal tidak
menjadikannya anak yang manja. Karena kami bertetangga, terkadang saya bertemu
dengannya di warung. Dia membeli bahan-bahan memasak. Langka sekali menemukan
orang seperti dia. Semakin mengetahui kesehariannya, rasa kagum semakin
menjadi. Ketika mendengar azan yang dikumandangkannya jikala gharin mesjid
tidak ada, saya semakin mengagumi makhluk ciptaan Allah ini. Terkadang dia juga
menjadi imam di mesjid. Saya sebagai perempuan yang lebih memilih shalat di
dalam rumah, saya hanya bisa mendengar lantunan ayat suci yang dikumandangkannya
lewat pengeras suara mesjid. Itu cukup bagi saya.
Saya pernah berinteraksi lebih intensif
dengannya jika membahas masalah pemuda mesjid. Kebetulan ketika saya kuliah,
dan dia baru tamat kuliah, dia diberi amanah untuk mengelola pemuda mesjid dan
membina kader-kader selanjutnya. Saya kala itu aktif dalam program keputrian
dan mengelola mading mesjid bersama tim lainnya termasuk dia sebagai ketua.
Namun sayang kegiatan itu tidak berlanjut sampai sekarang karena para kader
sibuk kuliah di kota dan jarang pulang ke kampung halaman, termasuk saya. Dan
kedekatan kami yang sebatas tentang organisasi itupun terputus hingga sekarang.
Sekarang saya hanya bisa mengaguminya dalam diam. Selalu, dalam diam.